Catatan Kecil Seorang Ibu Tentang Kesehatan Mental dan Keheningan yang Terlupakan
Hai hai TemaNda!
Beberapa waktu lalu, Manda duduk sendiri di ruang tengah. Anak-anak lagi main di kamar, suami kerja di luar kota, dan rumah… ya, masih berantakan sedikit, tapi nggak separah biasanya. Tapi anehnya, walaupun situasi cukup tenang, hati ini tetap terasa riuh. Otak rasanya kayak tab Google yang kebanyakan dibuka—banyak, kecil-kecil, dan semuanya ingin dituntaskan sekaligus.
Tanpa sadar, tangan ini otomatis meraih HP. Scroll. Buka Instagram. Lihat story. Geser TikTok. Buka chat WA. Nggak ada tujuan jelas, cuma semacam gerakan refleks aja. Kalau ada waktu luang dikit, langsung scroll.
Dan waktu itu, Manda benar-benar ngerasa capek. Bukan karena cucian belum dilipat, bukan karena anak belum mandi. Tapi karena diriku sendiri. Karena terlalu sering nge-scroll, tapi lupa diam. Lupa menarik napas panjang. Lupa duduk tenang tanpa distraksi. Apa memang begini lifestyle ibu millennial?
Diam Itu Barang Langka di Era Digital
Kita hidup di zaman yang menilai diam itu aneh. Kalau lagi diam, kita dianggap malas. Kalau nggak posting apa-apa, kita dianggap hilang. Padahal dulu, waktu kecil, Manda bisa duduk di jendela sore-sore cuma buat lihat matahari turun. Sekarang? Pemandangan sunset lebih sering dilihat dari IG story sahabat lama.
Sebagai ibu, kita sering merasa butuh me time. Tapi yang sering terjadi adalah kita malah terjebak dalam waktu luang yang penuh gangguan digital. Bukannya tenang, malah makin gelisah. Bukannya recharge, malah otak makin penuh.
Kita pikir scroll medsos itu hiburan. Nonton drakor, kepo tentang gosip artis, Verfu misalnya (tolong DC jangan lempar sendal, wkwk). Tapi sering kali justru bikin kita makin cemas. Lihat ibu-ibu lain bikin bekal anak lucu-lucu, rumah rapi, anak anteng, suami romantis, feed estetik. Otak kita mulai membandingkan. “Aku kok belum bisa kayak gitu, ya?”
Itu terjadi… bahkan dalam waktu 5 menit pertama scroll.
Realita Ibu Tiga Anak: MPASI, Remah, dan Lelah
Sekarang si bungsu Manda sudah masuk usia 6 bulan dan mulai MPASI. Dunia rumah terasa makin sibuk. Setiap hari seperti lomba lari: menyiapkan makanan, mencatat menu, memastikan teksturnya pas, belum lagi beresin lantai yang penuh remah dan belepotan bubur. Metode yang Manda pilih untuk Baby El memang kombinasi antara (Baby Led Weaning) dan rekomendasi Buku pink Kemenkes. Dibilang lebih repot ya gak juga, dibilang lebih santai juga gak. Sementara itu ada dua kakaknya sedang aktif-aktifnya bertanya, berebut, dan minta perhatian juga.
Manda pernah merasa napas sendiri jadi sempit. Waktu buat diri sendiri kayak lenyap entah ke mana. Padahal baru juga bangun, eh tahu-tahu udah malam lagi. Rasanya kayak semua energi dipakai untuk bertahan dari satu jadwal ke jadwal lain.
Lalu, di momen sesibuk itu, Manda iseng buka blog lama yang dulu pernah disimpan. Mampir ke tulisan Teh Okti blogger Cianjur yang juga seorang ibu. Ia bercerita tentang anaknya yang mondok di Gontor. Gaya hidup para santri yang tenang, terjadwal, tanpa gadget, dan minim distraksi.
Dari sana Manda tersadar: ada kehidupan lain di luar dunia kita yang serba cepat dan bising ini. Para santri itu hidup dengan ritme yang pelan tapi pasti. Hidup yang sederhana, tapi justru membebaskan mereka dari tekanan tak kasat mata yang sering kita alami di dunia digital.
Mungkin Kita Iri dengan Hidup yang Pelan
Kehidupan para santri di pesantren seperti Gontor memang jauh dari kenyamanan modern yang biasa kita nikmati. Tapi justru dari situ, ada banyak pelajaran tentang batin yang lapang. Mereka tidur beramai-ramai, makan seadanya, bangun sebelum subuh, tapi tetap menjalani hari dengan semangat.
Manda jadi mikir, andai kita sebagai ibu juga punya waktu harian yang sudah dijadwalkan untuk sekadar duduk diam. Untuk benar-benar hadir dalam satu aktivitas saja, tanpa distraksi. Mungkin hati ini nggak akan secapek sekarang.
Mungkin, kita bisa lebih mudah bersyukur, karena nggak terus menerus membandingkan hidup yang dijalani dengan hidup orang lain yang hanya kita lihat sepintas lewat layar.
Kita nggak harus pindah ke pesantren untuk merasakan damainya hidup seperti itu. Tapi kita bisa menciptakan versi sederhananya di rumah, dengan cara kita sendiri.
Body Lotion Favorit dan Waktu Diam yang Sederhana
Manda mulai belajar mengundang sunyi dengan cara yang sederhana. Bukan meditasi pakai musik instrumental, bukan yoga di studio. Tapi lewat mandi. Mandi sambil menikmati sabun dan body lotion dengan aroma favorit. Wangi vanilla atau bunga melati yang langsung bikin hati terasa lembut.
Saat mandi, Manda usahakan nggak bawa HP. Fokus sama air hangat yang mengalir, aroma sabun yang menenangkan, dan momen mencuci lelah. Bukan sekadar bersih fisik, tapi juga bersih pikiran.
Kadang juga duduk diam di lantai kamar, lampu diredupkan sedikit. Nggak scrolling, nggak pasang lagu. Cuma tarik napas panjang, dan mendengarkan isi hati sendiri.
Diam Bukan Tanda Malas, Tapi Cinta
Kalau dipikir-pikir, mungkin diam itu bukan kemewahan. Tapi bentuk cinta. Cinta pada diri sendiri yang sudah berjuang sejauh ini. Cinta pada anak-anak yang tumbuh di bawah peluh dan pelukan kita. Cinta pada hidup yang mungkin tidak selalu manis, tapi selalu memberi kesempatan untuk belajar.
Diam adalah bentuk menghargai. Menghargai tubuh yang sudah lelah. Menghargai pikiran yang sudah penuh. Menghargai hati yang butuh waktu untuk pulih.
Dan ternyata, keheningan itu nggak harus dicari jauh-jauh. Ia ada di antara waktu menyuapi dan mencuci. Di sela momen saat anak tertidur dan rumah mulai tenang. Di detik-detik sebelum kita kembali membuka layar. Pilih waktu sepi favorit kita. Cara terbaik yang kita suka. Mungkin untuk Manda bentuknya mandi, entah untuk kalian.
Mari Kembali Pelan-Pelan
Manda tahu, kita ibu-ibu tidak bisa sepenuhnya diam. Hidup kita dipenuhi tangisan, tawa, rengekan, pekerjaan rumah yang nggak habis-habis, dan notifikasi yang terus berdenting. Tapi kita bisa memilih—setidaknya satu waktu dalam sehari—untuk berhenti sejenak.
Bukan untuk kabur dari tanggung jawab. Tapi untuk hadir utuh, dengan hati yang lebih tenang.
Mungkin kita nggak bisa hidup seperti para santri di Gontor. Tapi kita bisa menciptakan sedikit keheningan mereka dalam kehidupan kita. Lewat mandi yang mindful, lewat journaling sederhana, atau lewat waktu duduk tanpa gawai.
Karena kadang, yang paling kita butuhkan bukan hiburan baru—tapi ruang kosong yang menyembuhkan. Ruang diam. Ruang untuk pulih.
Dan siapa tahu, dari diam yang kita pelihara itu… kita menemukan kembali kekuatan menjadi ibu, menjadi istri, dan menjadi diri sendiri yang lebih utuh.
Aku jadi mikir lagi, hari ini apa aku sudah duduk diam cuma buat ngelihatin orang jalan ya. Hehehe.. Diam di era sekarang tuh kayak harta karun. Dicari banget. Kadang saking capeknya sama medsos, entah sudah berapa lama aku nggak buka IG atau tekotok ya, karena ya kontennya meski bervariasi malah kita yang jenuh. Mungkin sudah saatnya kita duduk diam sambil minum es krim. :D
ReplyDeleteSetuju banget, kadang diam itu perlu buat menyadari hal-hal kecil di sekitar kita
ReplyDeleteAku sekarang sudah sebulan lebih tutup akun instagram, dan bahkan malah merasa lebih baik mbak. Meski jadi suka kelewat info penting, tapi tak apalah. Aku merasa sekarang bisa lebih tenang, mrasa waktu lebih berjalan dengan ritmenya, tak lagi semuanya terasa terburu-buru.
ReplyDeleteDan itulah yang sebenenarnya kita butuhkan di masa sekarang ini. Diam menikmati waktu, bukan diam dan diserang oleh kumpulan konten random yang merusak otak secara perlahan. Detoks sosial media adalah kuncinya.
Aku sampe sekarnag belum ada rencana reaktivasi sosmed sih. Kayaknya nyaman aja gitu kayak begini, bisa menjalani hidup tanpa banyak distraksi.
Thanks remindernya mbak. Sebelum melarang anak2 untuk pegang atau mengurangi main gadget, memang harus orang tuanya dulu yang sadar diri untuk tidak selalu mengisi waktu dengan scroll-scroll. Jeda dengan diam sebetulnya lebih bermanfaat dibandingkan dengan scroll layar hp. Akupun sering harus "diingatkan" tubuh sendiri untuk jeda diam itu dengan mata yg terasa sakit, atau tangan yang pegel2...
ReplyDeleteAaakk, nampaarr banget ini maahh.
ReplyDeleteSangat relatable dengan buibu milenial apalagi yg pengin berburu cuan dari socmed.
Ehhh, gegara pantengin socmed mulu, bukannya dapat job dgn fee ngiler-able, malah bonus Brain Rot!
Naudzubillah.
Semogaaaa kita makin sehaaatt jiwa raga yaa
iya nih, lagi berusaha keras untuk berhenti scrolling mindlessly just to spend the time. Better baca buku kan atau duduk2 aja melihat kucing bermain di halaman sambil ngeteh2. We owe the metime to ourselves instead of glued to social media all the time.
ReplyDeleteBerasaaaa banget zaman dulu saat belum ada gadget, aku juga lebih santai, waktu kayak panjang, saat interaksi dengan teman lebih dekat. Ga kayak skr, yg dikit2 liat hp.
ReplyDeleteMakanya aku pun ada waktu detoks medsos mba. JD saat itu, tutup semua FB Ig. Uninstall sampe pikiranku fresh lagi. Itu paling ngaruh kok bikin kita kayak serba kurang, waktu ga pernah cukup, belum lagi rasa envy kalo liat postingan temen2. 😜ðŸ¤.
Dengan sesekali detoks, aku bisa belajar utk ga menganggap medsos sebagai yg utama.
Sejujurnya aku juga mulai mengurangi bermain socmed. Memang deh dipikir-pikir scroll up and down media sosial macam2 itu muncul deh pikiran banyak kepengen ini dan itu. Apalagi kalau melihat video-video yang terkini, rasanya kita ketinggalan banget ya hahahahah : D Eh aku wkwkwkwk. Pengen diam, menikmati baca buku kayak dulu ditemanin secangkir teh atau kopi. Dah itu aja sekarang mah sambil berbakhati kepada orang tua.
ReplyDeleteAku setahunan lalu , menyibukkan diri di dunia nyata, hampir vakum ngeblog dan sosial media. Baru mulai aktif lagi 2-3 bulan ini. Karena ada di fase yang pengin diam menepi dari dunia maya yang berisiknya.....Senang sekali baca rangkaian kata di artikel ini, pernah merasakan hal yang sama. Peluk erat:)
ReplyDeleteBoleh banget pastinya itu diam sejenak dari melakukan kegiatan apapun. Tutup secara perlahan dari melihat informasi agar lebih fokus untuk membuat diri lebih tenang. Hanya aja ketika akan diam, bukannya malah beneran diam, eh ke distraksi oleh yang lain..
ReplyDeleteTulisan yang manis, terima kasih ya. Terbayang banget bagaimana "dunia" Ibu dengan malaikat kecilnya, akan terus berlomba dengan waktu terus ingin diselesaikan. Melupakan bagaimana "hidup" disetiap laku.
ReplyDeleteDiam memberi ruang untuk hadir seutuhnya. Hidup tidak hanya bernafas.
Semoga semakin banyak pribadi sungguh sadar atas apapun yang dilakukan, tidak hanya sebuah tuntutan dan tulisan ini banyak ditemukan insan sehingga mengerti ruang "Diam".
di era digital sekarang, terlihat diam pun belum tentu sedang benar-benar diam. Tubuh bisa jadi terduduk santai dan bersandar di kursi tapi ada hp di tangan. Mungkin baru bisa kita sebut seseorang itu benar-benar terdiam saat mereka sedang tertidur pulas.
ReplyDeleteSaya harus akui Mbak. Sekarang rasanya Tidak bisa sehari saja tanpa buka medsos. Scroll sana sini. Dan ternyata.. kok bablas lupa waktu. Jadi Memnag harus stop. Dan lakukan hal bermanfaat. Dan kayaknya saya sudah lama tidak diam asyik sendiri karena tenggelam dalam keasyikan membaca buku. Mungkin wiken ini saya perlu jalan ke situ dekat rumah menikmati angin yang pelan berhembus. Intinya medsos bisa asal ada batasannya juga
ReplyDeleteBetul banget Manda, saat ini diam tanpa distraksi menjadi sesuatu yang mewah dan mahal. Sekaligus peranannya penting buat jaga kewarasan diri juga. Scrolling yang mulanya bak hiburan, nyatanya bikin OVT juga walau nggak beneran karena scrolling tetapi setidaknya punya peran nambah keriuhan isi kepala.
ReplyDeleteLewat tulisan ini tersadar betapa penting mencintai diri sendiri dengan memberi diri waktu yang agak tenang serta menikmati sebuah momen dengan mindfull.
Aku pun merasakan stagnan saja menjadi ibu
ReplyDeletePerliaku anak yang boleh dibilang so far so good juga ternyata jadi tantangan lain bagi saya
Hmm... kadang aku memilih tidur dan menjadikan diam itu tak bergerak sama sekali tetapi kepala penuh dengan peta konsepnya
Begitulah yang terjadi pada kebanyakan Ibu-ibu di era digital. Susah banget lepas dari gawai. Waktu istirahat pun yang dipegang hape, karena FOMO di kepala ini atas apapun yang terjadi di dunia maya.
ReplyDeleteSetuju banget, kita butuh diam sejenak, lepas dari gawai dan benar-benar hadir pada aktivitas kita. Menikmati waktu untuk diri sendiri. Semoga kita bisa melakukannya setiap hari ya, Mbak :)
Gak tau nih, sejak jadi ibu2 rasanya waktu cepet banget. Perasaan belum ada duduk diem, eh udah malam aja, besok bangun pagi lagi, muteeerrr aja. Kek hidup cepet. Sementara kyk mbak bilang kehidupan santri (alias pemuda) kyknya lebih selow. Yaaa mungkin mereka di usia yang kesibukannya masih belajar aja, beda ma ibuk2 yang kalau di-list kerjaannya apa, daftarnya bakal panjang hehe.
ReplyDeleteHihihi iyaaa, kadang kita mengira menyambangi dunia maya udah me time yang bikin tenang, tapi kadang suka mendadak gimana gitu sama postingan orang. Aku milih ndrakor ma makan aja deh mbak kalau dah gitu =))
iya mbak kadang aku sampe mikir, mending melakukan hal lain aja deh, soalnya kalo kena hape aku juga ga bisa boong kalo yang aku lakuin sering scrool. Iya awalnya cari ide, atau apa tapi kadang yaa begitulah yang terjadi.. kadang sekarang kalo aku lagi stres, aku luluran terus keramas biar segeran.. udah biar ga kepikiran macem2 😅
ReplyDeleteAh kok bener ya
ReplyDeleteKadang pengen rebahan sebentar, buka sosmed. Scroll eh nggak nyadar satu jam sudah berlalu, padahal masih banyak pekerjaan yang belum dilakukan
Memang, harusnya klo pengen istirahat ya diam, ya. Bukan nalah scroll
Kita memang terkenal sebagai warga yang slow living, tapi kalau sudah masuk ranah media sosial, ngegasnya ga ketulungan, bahkan menjadi salah satu negara terberisik di dunia dalam hal mengomentari konten media sosial. So, memang tidak apa-apa sekali ketika kita lebih mengambil langkah diam menarik napas dan menikmati vibesnya untuk menjaga segala kewarasan hidup tentunya
ReplyDelete