Sebuah Catatan tentang Kesehatan Mental Ibu
Hai hai TemaNda!
Pernah gak kita merasa hidup seakan berubah arah total setelah berhenti kerja? Buat sebagian orang, berhenti kerja bisa jadi keputusan yang melegakan. Gak ada deadline, gak ada drama kantor, dan rasanya punya lebih banyak waktu untuk keluarga. Tapi, jujur aja, realitanya gak selalu seindah itu. Ada sindrom tertentu yang bisa muncul, dan seringkali diam-diam menggerogoti kesehatan mental kita.
Manda masih ingat jelas perjalanan pribadi. Sejak 2010, Manda bekerja di dunia desain, sebagai desainer interior, sempat menjajal sebagai desainer grafis, dan juga nyebur sebentar di divisi bussines developement, lalu balik lagi lama sebagai desainer interior, mikirnya dulu yang penting sesuai ijazah. Pindah dari satu kantor ke kantor lain, menikmati setiap proses kreatif, meskipun ada juga penat dan lemburnya, ya working life. Sampai akhirnya tahun 2015, setelah melahirkan anak pertama, Manda memutuskan berhenti kerja. Niatnya sederhana ingin fokus mengasuh. Namun, ternyata berhenti kerja bukan sekadar “istirahat”. Ada sisi mental health yang pelan-pelan terasa berat.
Apalagi setelah melahirkan anak kedua di 2017 mulai ada krisi dalam diri Manda. Krisis ini menahun dan terus memburuk, mengganggu rutinitas. Membuat banyak perubahan besar, membuka banyak kotak pandora, trauma dari masa ke masa. Manda lalu didiagnosis depresi sedang. Tahun 2020, di tengah pandemi, Manda akhirnya menjalani pengobatan psikiatri. Dari perjalanan ini, Manda jadi makin paham bahwa berhenti kerja bisa sangat menyenangkan, tapi bisa juga memunculkan berbagai sindrom yang erat kaitannya dengan kesehatan mental.
1. Depresi Setelah Berhenti Kerja
Banyak penelitian menunjukkan bahwa kehilangan pekerjaan bisa meningkatkan risiko depresi. Di Indonesia, data Riskesdas 2018 mencatat sekitar 6,1% penduduk usia 15 tahun ke atas mengalami depresi, tapi hanya 9% yang mendapat penanganan medis. Artinya, banyak sekali yang tidak tertangani.
Kalau dikaitkan dengan ibu pasca melahirkan, angkanya lebih mencolok lagi. Studi di Pontianak pada 238 ibu postpartum menemukan 27,7% mengalami depresi, sementara penelitian di Klaten bahkan mencapai 36%. Angka ini menunjukkan bahwa transisi menjadi ibu, apalagi bila diikuti berhenti kerja, bisa menjadi pemicu nyata.
2. Kehilangan Identitas dan Rasa Diri
Selama bertahun-tahun, identitas Manda melekat dengan pekerjaan. Rasanya fasih menyebut diri “desainer interior”. Tapi setelah berhenti, ada kekosongan. “Siapa saya sekarang?” Pertanyaan itu sering muncul, terutama ketika orang lain bertanya “kerja di mana sekarang?”.
Fenomena ini disebut loss of identity, di mana kita kehilangan sebagian rasa diri karena profesi yang dulu melekat. Bagi banyak ibu rumah tangga, identitas baru sebagai “hanya di rumah” sering diremehkan lingkungan. Padahal, justru di rumah lah beban mental dan fisik bertambah. Bila di kantor kita kerja 9 to 5, kalau di rumah kita bekerja never stop.
3. Kecemasan Berlebihan tentang Masa Depan
Berhenti kerja sering membuat kita overthinking. Apalagi saat melihat teman sebaya yang terus melaju di karier, sementara kita merasa tertinggal. Ada kecemasan soal penghasilan, soal masa depan, bahkan soal relevansi skill.
Penelitian di Korea menemukan, kehilangan pekerjaan meningkatkan gejala kecemasan terutama bila status pekerjaannya tidak stabil. Hal ini terasa banget saat pandemi 2020, ketika banyak orang termasuk Manda harus menghadapi ketidakpastian ekonomi. Bukan hanya ekonomi pastinya, pandemi lalu membuat kita banyak mempertimbangkan, apa kita masih aman untuk beberapa hari ke depan, ya gak?
4. Isolasi Sosial dan Burnout di Rumah
Ketika bekerja, kita punya teman ngobrol, rapat, bahkan sekadar makan siang bareng. Begitu berhenti, lingkaran sosial menyempit. Kadang cuma berputar antara anak dan pasangan. Kalau tidak ada support system, rasa sepi bisa berubah jadi isolasi.
Studi di Makassar menunjukkan bahwa stres dan kurangnya dukungan sosial berpengaruh besar terhadap burnout ibu rumah tangga. Artinya, meski sudah tidak kerja kantoran, tekanan tidak hilang, hanya berubah bentuk. Rutinitas mengurus rumah bisa sama melelahkannya, bahkan lebih, karena minim apresiasi.
5. Rasa Bersalah dan Malu
Banyak ibu merasa bersalah setelah berhenti kerja. Ada yang merasa gagal memberi kontribusi finansial, ada juga yang merasa tidak cukup “produktif”. Stigma sosial sering memperparah, seolah kerja rumah tangga tidak bernilai.
Padahal, menurut penelitian di Lampung, rasa syukur dapat menurunkan tingkat stres pada ibu rumah tangga. Artinya, mengubah cara pandang dan menghargai diri sendiri bisa jadi benteng dari rasa bersalah berlebihan. Ini yang Manda rasa kadang terlupakan. Respon terhadap tekanan yang lalu mengikis rasa syukur.
6. Dampak Fisik dari Tekanan Mental
Jangan remehkan dampak fisik. Dari insomnia, perubahan berat badan, sakit kepala, sampai kelelahan kronis bisa muncul akibat tekanan psikologis setelah berhenti kerja.
Bahkan, studi dari IPB (2021) mencatat stres ibu rumah tangga bisa memengaruhi komunikasi keluarga. Jadi, bukan cuma tubuh yang lelah, hubungan rumah tangga juga bisa ikut terdampak.
7. Mengapa Penting Membicarakan Ini?
Kesehatan mental masih sering dianggap tabu. Apalagi ketika menyangkut ibu rumah tangga. Banyak yang berpikir, “kan di rumah aja, harusnya santai.” Nyatanya, data dan pengalaman menunjukkan sebaliknya.
Berhenti kerja memang keputusan besar. Kadang penuh keikhlasan, kadang juga karena terpaksa. Apapun alasannya, dampaknya ke kesehatan mental nyata. Dan kita butuh ruang aman untuk membicarakannya, supaya tidak merasa sendirian.
8. Bagaimana Cara Menghadapinya?
Berdasarkan pengalaman Manda dan berbagai studi, ada beberapa hal yang bisa membantu:
- Bangun rutinitas baru: Punya struktur harian bisa mengurangi rasa kosong. Manda biasanya menyetting berbagai alarm setiap harinya. Maklum gampang banget lupa, hehe.
- Cari support system: Entah suami, sahabat, komunitas ibu, atau bahkan forum online. Support system sangat penting bagi kita, walau bukan berarti kita harus bergantung padanya. Jadikan semua alat pendukung agar kita menjadi pribadi yang sadar utuh.
- Hargai peran diri: Pekerjaan domestik juga kerja keras. Validasi diri penting. Jangan takut untuk mengakui apapun emosi yang kita rasakan, lalu perlahan belajar lagi untuk meregulasi semuanya, untuk tetap bertahan, berdaya secara sadar.
- Jaga fisik: Tidur cukup, makan bergizi, dan tetap bergerak. Dianggap sepele tapi alarm tubuh adalah hal terpenting untuk membuat semua tetap berjalan baik. Pilih hidup sehat untuk membuat tubuh tetap terjaga dengan baik. Menjaga diri juga salah satu bentuk syukur kita.
- Cari bantuan profesional: Bila gejala depresi atau kecemasan mengganggu, jangan ragu ke psikiater atau psikolog.
Penutup
Berhenti kerja bukan akhir dari segalanya, tapi memang bisa memunculkan sindrom yang berat bagi kesehatan mental. Dari depresi, kehilangan identitas, kecemasan, sampai burnout di rumah semuanya nyata.
Manda percaya, dengan dukungan yang tepat, kita bisa melewati fase ini. Mungkin kita tidak lagi berada di balik meja kantor atau rapat desain, tapi kita tetap punya peran besar di rumah dan di masyarakat. Identitas kita tidak hilang, hanya berubah wujud. Dan itu sama berharganya.
Jadi, mari rawat kesehatan mental setelah berhenti kerja. Karena ibu yang sehat mentalnya, akan lebih kuat mengasuh, lebih hangat mencintai, dan lebih siap menghadapi perubahan hidup.
TemaNda punya pengalaman serupa atau pandangan lain? Kuy kita ngobrol di kolom komentar!
Been there!
ReplyDeleteLost Identity kayaknya dialami hampir semua ibu yg tdnya working mom dan berbalik arah menjadi Stay at Home Mom.
Apalagi klo pas ada kawinan atau acara kumpul2 keluarga besar...duh saya merasa "kerdil" bangettt. karena yg lain, karirnya melesaaatttt dan saya seolah jalan di tempat
Memang perasaan ini harus dikelola dgn baik ya. Butuh support system juga, utamanya dari suami yg ngga celamitan 🫣😖
Entah kenapa seingat saya saya dulu tidak mengalami sindrom berhenti bekerja...apa mungkin karena saya tipe orang rumahan ya jadi berasa nyaman aja dirumah dan gak bekerja lagi..meskipun saat bekerja saya juga menikmati tugas saya selama dikantor..namun saat resign pun saya juga tidak merasa kehilangan jati diri...
ReplyDeleteMeskipun kadang juga merasa iri kalo melihat teman yang karir nya melejit namun bersyukur karena saya juga bisa menemukan kebahagiaan meskipun hanya menjadi IRT
Sepertinya gangguan mental bisa terjadi pada siapa saja dengan profesi dan keadaan apa saja. Untungnya makin ke sini orang makin sadar dengan kesehatan mental jadi tidak ragu lagi untuk meminta bantuan. Makasih ya mbak udah mau share kisahnya
ReplyDeleteKombinasi Keluar dari pekerjaan rutin dan melahirkan sebuah akar terganggunya kesehatan mental. Belum lagi kalau itu dihadapi tanpa kesadaran yang utuh.
ReplyDeleteTahapan atau list tahapan untuk menghadapi kesehatan mental yang ditulis itu sangat tepat.
Jika mampu melakukan itu, jika tidak bisa semua paling tidak mempunyai support system yang tepat itu sudah sangat membantu.
Terima kasih ya untuk tulisan baiknya. Sehat selalu.
Paham kok yg dirasain setelah resign. Aku tuh resign THN 2020. Pas pandemi . Banyak yg menyayangkan, tapi memang aku memilih resign drpd kerja dengan visi misi yg udah bertentangan hati nurani.
ReplyDeleteDan mungkin Krn aku resign pas pandemi, yg ada malah tenang dan bersyukur mba. Krn ga harus kluar, ga kuatir tertular. Lebih aman di rumah.
So, aku stressnya bukan Krn resign, tp Krn ngajarin anak belajar di rumah 🤣🤣🤣. Yg mana aku memang ga sabaran kalo ngajar.
Pernah ngerasa minder atau ga? Jawabnya ga.. aku biasa aja kalo ditanya kerja apa, dan aku jawab jujur, ibu rumah tangga. Justru yg ada temen2 kebanyakan envy, Krn sejak resign aku jadi bebas traveling. Ga terikat cuti kan 😁. Kalo dulu susah , Krn cuti terbatas, harus cari pengganti. Setelah resign, aku bebas ngetrip kapan aja aku mau.
Tapiii kalau mau resign tanpa stress, memang hrs diprepare semuanya. Kebetulan aku ga punya kewajiban hutang, suami juga masih secure pekerjaannya, kami ada passive income dari sewa rumah dan apartemen, so, agak tenang...
Sesekali aku iri juga kalo liat temen kantor yg posisi udah tinggi, tapi masing2 pasti ada plus minus. Jadi ya sudahlah, nikmatin yg kita ada aja , biar ga depresi mba ☺️
Nomer 3 tu bener banget, kyknya sampai sekarang aku rasain Ya Allah. Mau kerja lagi tapi sistem di sini bobrok, usia 40 udah dianggap manula. Paling banter akhirnya melakukan kerjaan freelance2 aja.
ReplyDeleteTiba2 minder juga sering terjadi, apalagi kalau liat temen2 perempuan lain bekerja sejak dulu, Arrghh kangen gajian, kangen dapat THR haha.
Tapi ya gimana ya udah sampai di titik ini, sekarang cuma bisa berusaha sekuat tenaga melakukan yang terbaik jadi emak2, istri yang mendukung suami,doa yang kenceng, sesekali ya main sama sirkel2 yang positif biar gak ovt hehe.
Dulu awal-awal resign sih nggak kerasa apa-apa ya. Apalagi nggak lama hamil dengan segala dramanya. Bersyukur banget udah nggak kerja.
ReplyDeleteBurnout pernah ngalami, tapi mungkin karena lelah ngurus anak ya, bukan karena nggak kerja. Tapi nggak tahu juga sih, soalnya selama belum punya anak nggak pernah burnout walaupun nggak kerja hahahha
Malu dan minder ini sih penyakitnya. Karena komen2 orang di luar sana yang mulai menyayangkan dan membanding-bandingkan. Padahal tanpa koemntar mereka hidupku pasti baik-baik aja. Gara-gara komenan itu jadi mikir nggak baik-baik aja. Sekarang berusaha nggak peduli sama pendapat orang lain demi kewarasan jiwa.
Memang berhenti kerja itu bukan cuma soal “punya waktu di rumah”, tapi juga soal perubahan besar dalam identitas dan kesehatan mental. Bagian tentang kehilangan rasa diri setelah nggak lagi jadi “desainer interior” itu dalem banget, aku rasa banyak ibu bisa relate.
ReplyDeleteAku juga setuju soal pentingnya support system. Kadang hal sesederhana punya teman ngobrol bisa jadi penolong besar biar nggak merasa sendirian. Salut banget Mbak Alienda berani cerita terbuka soal perjalanan ini, apalagi sampai menjalani pengobatan psikiatri.
Terima kasih sudah berbagi dengan jujur dan hangat ya mbak. Tulisanmu ini semakin menyadarkan kalau kesehatan mental ibu memang perlu terus diperhatikan dan dirawat ❤️
Asik Kak Al, bekerjanya sesuai dengan ijazah, yaitu sebagai desainer. Kalau daku malah belum pernah sukses hehe. Namun, tetap happy menjalani job yang ada.
ReplyDeletePastinya adalah ya semacam sindrom atau kaget gitu, dari yang tadinya kerja menjadi tidak. Terlebih tiba² jadinya di dalam rumah aja. Sehingga perlunya ketegaran diri agar mental bisa tetap sesuai koridor.
saya mengalami semua itu sekitar tujuh tahunan lalu, saat harus berhenti kerja karena PHK
ReplyDeletemalu, merasa bingung karena ga ada pegangan penghasilan, dan pikiran2 lain yang terus menghantui saya
akhirnya waktu juga yang membantu saya bisa menjalani semua itu, sehingga sekarang bisa menerima semuanya dengan lapang dada
Berhenti bekerja kalau saya berarti adalah memasuki masa pensiun. Masa pensiun memang harus dipersiapkan sebaik mungkin. Baik itu dalam hal financial maupun mental health. Menjelang pensiun harus mulai mencari alternatif kegiatan yang bisa dilakukan saat pensiun.termasuk merencanakan usaha agar tetap mendapatkan penghasilan.Jadi masa pensiun bjkan sebuah momok yang menakutkan.
ReplyDeleteNah iya, banyak yang mengira menjadi ibu rumah tangga tanpa bekerja adalah impian dan sangat menyenangkan. Padahal nyatanya malah bertentangan. Nggak banyak IRT yang berawal dari bekerja dan beralih full IRT merasakan penurunan kesehatan mental.
ReplyDeleteBisa kebayang dari yang Manda ceritakan gimana beratnya rutinitas seorang ibu, apalagi sudah ada anak. Jam kerja di rumah beneran non-stop. Dan seringkali minim apresiasi juga. Terkadang lingkungan terdekat nge-judge "akh dia mah enak" ini karena aku sering ngobrol sama temen-teman yang berhenti kerja lalu full time jadi IRT, rasanya aku pengen banget dengerin keluh kesahnya, berat banget.
Salut sama Manda, berkenan berobat dan memastikan sehat lagi. Semangat terus Manda.
Tulisan ini ingatkan saya beberapa tahun lalu ketika sudah tidak bekerja di kantor lagi dan memilih hidup sebagai freelancer karena memang banyak sekali alami setelah tidak bekerja salah satunya adalah kekhawatiran soal pendapatan yang tidak bisa didapatkan secara pasti setiap bulannya akan tetapi dengan usaha dan juga berdoa rezeki akan tetap selalu ada dan masalah soal identitas juga cukup penting karena selama ini kita punya sebuah perusahaan yang benar-benar menjadi identitas tapi ketika sudah tidak ada otomatis menjadi bingung dan harus siap dengan identitas pribadi yang kuat dan juga membanggakan
ReplyDeleteberhenti bekerja adalah pilihan yang sulit. Apalagi kalau terpaksa berhenti bekerja karena terpaksa, karena suatu sikon. Misalnya anak-anak tidak ada yang urus. Tapi sebenarnya kendala terbesar itu datang dari lingkungan atau orang-orang sekitar. Kok ga kerja? Sayang ijazahnya? Lulus Sarjana kok di dapur?
ReplyDeleteJadi solusi terbaik memang datang dari diri sendiri. Bagaimana membiasakan diri. Caranya benar, dengan membangun rutinitas baru, dan mencari kegiatan yang mendukung juga. pasti ada sesuatu yang bisa dikerjakandi rumah dan menghasilkan.
Perubahan status dari ibu bekerja ke ibu rumah tangga, emang bikin shock
ReplyDeleteAku dulu juga mengalaminya
Sampai akhirnya bisa berdamai dengan rutin menulis
Menulis jalan healing. Hingga ikutan antologi yang judulnya Post Power Syndrome Full Time Mom
Hal ini pernah dialami ibuku mbak dulu saat baru saja resign, akupun belum lahir. Untungnya tak berapa lama aku lahir. Sesaat sebelum aku lahir ibuku menyibukkan diri dengan membuat aneka keterampilan yang disukainya, mulai dari jahit, buat kristik. Alhamdulillah rutinitas baru itu berdampak positif
ReplyDeletememang nggak semua orang bisa memahami alasan seseorang untuk resign. seolah kita harus kerja kerja kerjaaaa mulu gimana pun kondisinya. padahal, ada momen di mana kita butuh jeda sejenak. menurutku hal yang paling penting kalo ada org resign dan blm pengen kerja lagi itu kudu didengerin dulu. karena dia pasti punya alasan sendiri
ReplyDeleteSering banget ngerasa sepi yaa, Manchin..
ReplyDeleteAku karena ditinggal anak-anak pesantren, jadi ngerasa, aku dirumah aja kayak gak gunaa..
Tapii.. aku sring berandai-andai jugaa.. kalau kerja, memang dapet duid yaa.. pasti enak jugaa.. tapii.. hablumminallaahu ku asa kurang.
Memang kerja juga bernilai ibadah kalau diniatin karena Allaah yaa..
Perasaan minder, burn-out dan sepi pasti adaaa..
Yasarallaahu..
semoga Allaah mudahkan Manchin mencari "zona nyaman" untuk mencapai kebahagiaan kembali.
Tapi aku sukaa ketemu Manchiiin.. always membawa aura positif dan keceriaan..
Yeogsiii.. energi Manchin luar biasaa!!
Walaupun saya belum pernah merasakan berhenti dari pekerjaan, tapi diberhentikan oleh sistem alias pensiun, itu rasa-rasanya mirip dengan perasaan Mbak ini. Ada ketakutan yang tidak beralasan. Untungnya, mbak bisa melewati itu semua. Semoga makin bahagia dengan pilihannya yah. Amin.
ReplyDelete