Hai hai TemaNda!

Menurut kalian, bisa gak sih, cinta tumbuh dari kegelapan?

Pertanyaan ini muncul di tengah riuhnya perbincangan publik tentang Genie, Make a Wish, drama Korea baru yang sukses bikin geger bukan cuma karena visual Suzy dan Kim Woo-bin yang nyaris mistis, tapi juga karena keberaniannya menafsir ulang sosok Iblis, figur yang dalam banyak keyakinan, termasuk Islam, dianggap simbol kejahatan absolut.

Sejak episode pertama tayang di Netflix awal Oktober 2025, drama ini langsung memicu perdebatan. Beberapa penonton Muslim di berbagai negara menilai bahwa penggambaran “Iblis” sebagai karakter romantis adalah bentuk penyimpangan dan kurang menghormati makna spiritual yang sakral. Di media sosial, muncul tagar seperti #BoycottGenieMakeAWish dan #GenieMakeAWish seruan untuk berhenti menonton karena dianggap “meromantisasi kejahatan”.

Namun di sisi lain, banyak juga yang melihat karya ini sebagai bentuk eksplorasi psikologis, yaitu bukan tentang agama, melainkan tentang manusia, tentang jiwa yang terluka dan batin yang kehilangan arah. Di sinilah Genie, Make a Wish jadi menarik, ia bukan hanya kisah cinta antara manusia dan makhluk gaib, tapi juga cermin besar tentang bagaimana manusia menghadapi sisi tergelap dirinya sendiri.

Ka-young, si tokoh utama, bukan tipikal karakter perempuan K-Drama yang manis dan penuh empati. Ia datar, terukur, bahkan “dingin” sampai orang-orang di sekitarnya menjulukinya psikopat. Lalu datanglah Iblis, jin penuh dendam dan sinisme terhadap manusia, yang justru membuka lapisan demi lapisan luka batin Ka-young, dan memaksanya mempertanyakan apa arti kemanusiaan sebenarnya.

Jadi, kali ini Manda gak akan mengajak untuk memperdebatkan apakah drama ini menyinggung umat Muslim atau tidak. Manda mau geser sudut pandang dengan melihatnya dari sisi lain, bahwa mungkin Genie, Make a Wish sedang berbicara tentang manusia dalam skala universal, tentang kejatuhan, rasa bersalah, dan kerinduan yang tidak mungkin untuk ditebus.

Review Genie Make a Wish
Ilustrasi dihasilkan ChatGpt

1. Sekilas Tentang K-Drama Genie, Make a Wish

Genie, Make a Wish adalah drama Korea terbaru bergenre fantasi romantis dengan nuansa psikologis, yang dirilis di Netflix pada 3 Oktober 2025.

Cerita bermula dari Ki Ka-young (Bae Suzy), seorang wanita yang secara tidak sengaja membangunkan makhluk dari lampu kuno Iblis, sang genie (Kim Woo-bin) yang terjebak selama ratusan tahun. Ia bukan jin baik hati seperti di dongeng anak-anak, melainkan sosok yang ingin membuktikan bahwa manusia pada dasarnya serakah dan rusak oleh keinginan.

Ka-young sendiri hidup dengan kondisi batin yang unik, ia hampir tidak mengenal emosi. Sejak kecil, ia dibesarkan dalam lingkungan yang solid dan terstruktur karena dianggap “bermasalah secara emosional”. Dalam cerita pengasuhan Ki Ka-young bak mencerminkan pepatah Afrika yang terkenal "It takes a village to raise a child". Karena diceritakan, literaly, Ki Ka-young diasuh oleh satu kampung. Turut mendidik dan mengingatkan setiap hal baik dan benar kepadanya yang dianggap bermasalah, bahkan ditinggal oleh orang tuanya sendiri. 

Genie Make a Wish Fantasi Tak Selalu Indah
Genie Make a Wish ( Sumber : Netflix)

Pertemuannya dengan sang jin menjadi awal perjalanan yang mengubah hidupnya dari hidup yang dingin dan penuh kontrol, menjadi perjalanan mencari arti menjadi manusia seutuhnya.

Drama ini lebih dari sekadar romansa fantasi, tapi juga adalah refleksi tentang perasaan, empati, dan pencarian makna diri di dunia yang sering menilai manusia hanya dari “normal atau tidaknya”. 

2. Karakter Utama: Ki Ka-young dan Label “Psikopat”

Salah satu daya tarik terbesar drama ini terletak pada sosok Ki Ka-young karakter yang kompleks, misterius, dan jauh dari stereotip tokoh utama perempuan di drama Korea biasanya.

a. Latar dan Sifat

Ka-young tumbuh sebagai seseorang yang tidak mampu mengekspresikan empati secara natural. Ia memahami dunia lewat logika, bukan perasaan. Ditinggalkan ibunya sejak kecil, ia dibesarkan oleh sang nenek serta warga desa yang mencoba membentuknya agar “terlihat normal”.

Dalam wawancara, Suzy menyebut bahwa Ka-young memiliki unsur gangguan kepribadian antisosial (antisocial traits), namun bukan psikopat dalam arti klinis. Ia hanya kesulitan menafsirkan dan mengolah emosi seperti seseorang yang tahu teori tentang “rasa sedih”, tapi tidak benar-benar bisa merasakannya.

b. Mengapa Disebut “Psikopat”?

Label “psikopat” muncul bukan karena ia kejam, melainkan karena:

  • Ia tidak menunjukkan reaksi emosional sebagaimana orang lain.
  • Ia hidup dengan disiplin ekstrem, hasil dari latihan kontrol diri yang keras sejak kecil.
  • Ia sadar bahwa orang-orang menganggapnya aneh, bahkan menyebutnya “psikopat”.

Namun dalam konteks drama, istilah ini tidak dipakai secara medis, melainkan sebagai simbol dari keterasingan batin. Banyak penonton menilai bahwa Ka-young lebih cocok disebut memiliki alexithymia, kondisi di mana seseorang sulit mengenali dan mengekspresikan emosi.

c. Makna di Balik Karakter

Ka-young adalah cerminan manusia yang hidup di bawah stigma. Ia tidak jahat, hanya terlalu terbiasa menahan diri agar tidak menyakiti orang lain. Ia belajar bahwa empati bisa tumbuh bukan dari rasa kasihan, tapi dari keinginan untuk memahami.

Label “psikopat” di sini hanyalah topeng yang dipakai masyarakat untuk sesuatu yang tidak mereka pahami dan lewat karakter ini, drama mengajak kita menatap lebih dalam pada makna kata “manusiawi”.

3. Kesehatan Mental dan Dimensi Psikologis

Drama ini berhasil membawa isu kesehatan mental ke dalam dunia fantasi dengan cara yang lembut namun bermakna.

a. Krisis Emosi dan Kekosongan Batin

Ka-young digambarkan selalu rasional dan tenang, tapi di balik itu ada kehampaan yang dalam. Ia ingin sekali merasakan, bukan hanya memahami perasaan manusia. Adegan ketika ia berharap bisa “merasakan emosi manusia walau hanya satu hari” menjadi momen paling menyayat hati.

Ini menggambarkan perjuangan seseorang dengan alexithymia, hidup dalam tubuh manusia, tapi tidak sepenuhnya bisa merasakan seutuhnya menjadi manusia.

b. Struktur Hidup sebagai Perlindungan

Sejak kecil, ia hidup dalam jadwal ketat. Setiap tindakan harus punya alasan logis. Ia belajar bahwa tidak menyakiti orang lain bukan karena empati, tapi karena itu “tidak efisien”.

Pendekatan ini menunjukkan bagaimana orang dengan gangguan regulasi emosi menggunakan rutinitas sebagai pelindung diri. Dalam psikologi, ini disebut coping through control bertahan dengan mengatur semuanya secara ketat.

c. Dukungan Sosial

Ka-young tumbuh dalam sistem pengasuhan unik, bukan hanya neneknya, tapi seluruh warga desa berperan membentuknya. Ini mencerminkan gagasan bahwa dukungan sosial adalah kunci stabilitas mental. Kadang, seseorang tidak membutuhkan “penyembuhan”, tapi cukup diterima apa adanya dan mencari solusi atas semua permasalahan. Paling penting adalah sifat welas asih dari sang nenek yang tidak mau menyerah terhadap cucunya. 

d. Kritik terhadap Stigma

Meski membawa pesan positif, drama ini juga menyoroti bagaimana masyarakat mudah sekali memberi label “psikopat” kepada orang yang berbeda. Ini menjadi cerminan dunia nyata bahwa banyak individu dengan kondisi psikologis tertentu lebih sering dihakimi daripada dipahami.

4. Dinamika Ka-young dan Iblis dan Luka yang Saling Menyembuhkan

Hubungan antara Ka-young dan sang Jin menjadi inti perjalanan emosi dalam drama ini.

Jin bukan sosok lembut. Ia sinis, penuh luka, dan menaruh dendam pada manusia. Ia percaya bahwa manusia hanya hidup untuk diri sendiri.

Namun, Ka-young dengan segala keterbatasan emosinya justru menjadi lawan seimbang baginya. Ia menantang Jin untuk melihat sisi lain manusia lewat lima permintaan dari lima orang berbeda. Dari situ, keduanya perlahan belajar bahwa baik kebencian maupun kasih sayang lahir dari luka yang sama.

Perlahan, keduanya menyadari, penyembuhan tidak selalu datang dari cinta romantis, tapi dari keberanian untuk memahami luka masing-masing. Jin belajar menurunkan kemarahannya, sementara Ka-young mulai berani membuka pikiran dan hatinya terhadap perasaan yang dulu tidak pernah dimiliki.

Drama ini memperlihatkan bahwa proses penyembuhan jiwa tidak selalu tenang kadang justru berantakan, tapi nyata.

5. Mengapa Drama Ini Layak Dibahas

  • Premisnya segar: Di luar kontrovesinya, sebetulnya premisnya bisa dibilang cukup segar karena terdiri dari campuran mitologi jin, romansa, dan studi tentang sifat manusia.
  • Pendalaman karakter: Ka-young bukan protagonis “sempurna” atau ideal yang biasa disuguhkan K-Drama lain, melainkan manusia dengan sisi kelam yang realistis.
  • Isu kesehatan mental: Menariknya, drama ini menyoroti alexithymia, pengendalian diri ekstrem, dan kebutuhan akan penerimaan sosial hal yang jarang diangkat di genre romantis.
  • Visual dan tone: perpaduan lokasi eksotis dan nuansa kelam membuatnya menonjol di antara K-Drama lain.
  • Diskusi filosofis: drama ini mengajak penonton mempertanyakan apakah manusia pada dasarnya egois, atau justru berjuang keras untuk tetap baik di tengah keegoisannya?

6. Catatan Kritis

Tidak semua hal berjalan sempurna. Beberapa penonton merasa tone drama ini terlalu campur genre antara humor, misteri, dan tragedi. Juga bila menambahkan segala kontroversi dan berbagai hal yang bila dikaji secara sensitif, K-Drama ini bisa dinilai terlalu berani dengan menyinggung banyak pihak, juga segala selipan propaganda yang berlindung dibalik Genre Fantasy.

Selain itu, penggambaran istilah “psikopat” kadang terlalu longgar dari sisi psikologi klinis. Namun, di luar itu, kekuatan drama ini ada pada kemampuannya membangkitkan empati dan refleksi diri  sesuatu yang lebih berharga daripada akurasi medis semata.

7. Penutup

Genie, Make a Wish bukan hanya kisah cinta antara manusia dan jin. Ini adalah dongeng modern tentang luka, penerimaan, dan keinginan untuk merasa hidup lagi. Seru kalau ngomongin tentang KDrama tuh sebenernya sama Rani noona, atau juga cari rekomendasi di blog review drakor, dracin, dan dorama.

Oh iya, dari KDrama ini, Ka-young mengajarkan bahwa menjadi manusia tidak selalu berarti memiliki emosi yang sempurna cukup bisa merasakan sedikit demi sedikit sudah menjadi anugerah.

Sementara Jin menunjukkan bahwa kemarahan sering kali hanyalah wajah lain dari kesedihan yang belum sempat disembuhkan.

Pada akhirnya, drama ini menegaskan satu pesan sederhana:

“Tidak apa-apa jika kamu belum bisa merasa bahagia. Yang penting, kamu masih mau mencoba.”

Karena di dunia yang penuh keinginan dan kebisingan, keajaiban terbesar bukan tiga permintaan jin, melainkan kemampuan kita untuk tetap merasa meski hati pernah hancur berkali-kali.

Gimana? TemaNda punya pendapat lain tentang K-Drama ini? Tinggalkan komentar yaa...

SHARE 0 comments

Add your comment

© Alienda Sophia · THEME BY WATDESIGNEXPRESS