"Bagaimana cara Ibu jika sedang berada di titik terlemah dalam hidup?" Pertanyaan tersebut muncul teruntuk Gurunda Ibu Septi Wulandani saat pembukaan Studium Generale Matrikulasi batch 6 Institut Ibu Profesional. Jawaban dari Bunda Septi masih terngiang di ingatan. Terus mengikuti pagi dan malam hari-hari saya selanjutnya.

"Ibarat grafik, hidup manusia itu naik turun, tetapi saya memiliki prinsip hidup SABAR dan SYUKUR. Ketika di titik terlemah bersabar, ketika terlepas dari hal tersebut bersyukur. Ketika merasa sangat lemah, bahkan hampir putus asa, maka bersabarlah, karena itu pertanda rahmat Allah sudah sangat dekat. Semakin lemah semakin saya mendekat ke Yang Maha Kuat."
Ketika merasa sangat lemah, bahkan hampir putus asa, maka bersabarlah, karena itu pertanda rahmat Allah sudah sangat dekat.

Gurunda Ibu Septi menjawab singkat dan lugas. Tapi efeknya luar biasa. Pengingat bagi yang sedang terlupa. Bahwa sejatinya poin utama kehidupan adalah sabar dan syukur.

Tapi sebagai manusia kita begitu sering mengeluh. Ilmu yang sudah begitu sering didapat, seakan hanya sesaat lalu melesat. Sabar dan syukur lebih sering tertinggal, terbuang, terganti oleh emosi dan nafsu.

"Pasti enak jadi si A, orang tuanya sangat kaya raya. Semua tentu serba mudah bagi dia."

"Suami aku gak ada romantis-romantisnya. Nyebelin!"

"Kenapa orang seperti dia diberi amanah anak begitu banyak, sementara ia tak berilmu. Sedang kami yang sudah siap, begitu sulit mendapatkan keturunan."

"Ah, kenapa pekerjaan rumah ini seakan tidak ada habisnya. Baru selesai bereskan kamar, anak-anak sudah berulah lagi mengacak-acak."

"Si bos ga kira-kira ngasih kerjaan. Terpaksa lembur deh."

"Ya Allah, kenapa aku belum juga diberikan pekerjaan. Sampai kapan aku menganggur."

Pernah mendengar keluhan seperti itu? Atau kita salah satu yang sering mengutarakannya?

Ya, manusia memang begitu sulit untuk dipuaskan. Karena selalu ada kurangnya. Tapi apa lalu mengeluh menjadi satu hal yang baik untuk selalu dilakukan, tanpa adanya solusi.

Saat kita mulai mengeluh, itu tandanya tidak ada keikhlasan di dalamnya. Saat kita melakukan sesuatu dan merasa tidak cukup, bisa dipastikan yang diharapkan bukanlah ridha Allah semata. Ikhlas sendiri merupakan refleksi dari iman.

Jadi sebetulnya apa yang sedang kita khawatirkan ini? Dan apa yang kita keluhkan ini?

Kerap kali kita tidak sabar ketika anak kita meminta perhatian lebih, sementara kita sedang dikejar deadline. Atau rasa lelah setelah seharian mengurus anak menjadi alasan kita tidak melayani suami dengan baik, bahkan bersikap masam. Belum selesai sampai di situ, jangankan memuji, hasil jerih payah suami bahkan dibanding-bandingkan dengan suami orang lain.

Sadarkah kita saat itu sedang dzolim dan kufur nikmat? Begitu jauh dari kata taat. Sadarkah kita saat itu sedang merasa begitu tinggi dan merasa diri lebih baik dari orang lain? Sementara sifat sombong adalah sifat yang begitu dibenciNya.

Saat kita kerap mendapat pujian, apa kita sadar itu adalah sebuah cobaan?

Saat kita mendapat amanah, apa kita terlupa itu semua ujian yang kelak akan diminta pertanggung jawabannya. Lalu kenapa kita jadikan itu semua begitu melekat erat di hati kita?

Merasa begitu aku karena berprestasi. Merasa begitu berdaya karena produktif. Merasa begitu juara, dan bangga, sampai kebahagiaan membuncah ruah, terlupa semua sementara.

Sementara semua sesederhana bersabar dan bersyukur. Tidak perlu juga kita berlebihab. Karena yang berlebihan Allah tidak suka. Cukupkan karena Allah, dan selalu berbaik sangka pada Nya. Selalu kendalikan prasangka kita, karena prasangka kita dapat menggiring kita pada kekufuran.

Astagfirullahaladzim. Semoga kita semua selalu diberikan prasangka baik, kesabaran dan rasa syukur.
SHARE 0 comments

Add your comment

© Alienda Sophia · THEME BY WATDESIGNEXPRESS