Hai hai, TemaNda
Sembilan bulan. Angka yang sama dengan waktu kita mengandung, tapi kali ini konteksnya berbeda. Bukan lagi tentang menanti kelahiran, tapi tentang perjalanan memulihkan diri fisik, mental, dan perasaan, setelah melahirkan di usia 38 tahun. Kalau dulu sembilan bulan pertama penuh harapan dan rasa ingin cepat bertemu si kecil, sembilan bulan setelahnya justru jadi waktu untuk bertemu lagi… dengan diri sendiri.
Jujur aja, Manda nggak menyangka kalau fase ini bakal sekompleks itu. Di satu sisi, bahagia banget bisa melihat bayi tumbuh sehat dan penuh tawa. Tapi di sisi lain, ada cermin di kamar mandi yang mulai bicara pelan, kulit yang nggak sekencang dulu, garis halus yang makin nyata, rambut yang rontok tanpa kompromi. Semua perubahan itu datang tanpa aba-aba, tapi harus tetap disambut dengan penerimaan yang dewasa.
Apalagi setelah cari-cari referensi Beauty Blogger, jadi tambah semangat balik ngerawat diri. Pas juga nemu tulisan dari Beauty Blogger Balikpapan auto lebih aware lagi merawat tubuh, dalam dan luar.
Ketika Tubuh Mengingat Usia
Setelah melahirkan di usia 38 tahun, Manda benar-benar sadar kalau tubuh punya cara sendiri untuk memberi tahu, “Aku sudah bekerja keras, tolong rawat aku dengan lembut.”
Dulu, mungkin cukup tidur sebentar, minum air putih, dan pakai skincare seadanya pun wajah bisa cepat segar. Sekarang? Butuh usaha ekstra. Butuh waktu lebih lama untuk merasa fit, dan butuh kesabaran lebih panjang untuk melihat hasil dari perawatan yang dijalani.
Kulit wajah mulai terasa kering, terutama di area pipi dan sekitar mata. Garis-garis halus seperti jadi penanda perjalanan waktu. Belum lagi warna kulit yang nggak secerah dulu, terutama setelah malam-malam panjang begadang menyusui. Tapi di titik ini, Manda belajar satu hal penting: perubahan bukan musuh. Ia cuma tanda bahwa kita sudah melewati banyak hal.
Saatnya Menyapa Diri di Cermin
Setelah sembilan bulan sibuk dengan ritme bayi menyusui, mengganti popok, tidur seadanya, Manda mulai merasa ingin kembali “bertemu” dengan diri sendiri. Bukan dalam arti ingin seperti dulu, tapi ingin merasa nyaman di kulit sendiri yang sekarang.
Mungkin dimulainya sederhana. Waktu bayi tidur siang, Manda sempatkan mencuci muka dengan sabun lembut, atau micelar water, pakai toner yang menenangkan, lalu oleskan serum dengan pijatan ringan. Rasanya seperti ritual kecil yang menghadirkan kembali semangat lama.
Perlahan-lahan, perawatan tubuh pun mulai ikut rutin. Manda mulai lagi pakai body lotion setiap habis mandi bukan karena ingin wangi saja, tapi karena sensasi lembap di kulit itu seperti bentuk kasih pada diri sendiri. Kadang Manda tambahkan body scrub seminggu sekali, atau masker wajah saat malam minggu. Semua dilakukan tanpa tekanan, tanpa target harus glowing dalam seminggu.
Bukan soal penampilan saja, tapi lebih ke rasa setelahnya, rasa bahwa Manda masih ada di sini, masih penting, dan masih layak dirawat.
Rambut Rontok dan Hormon yang Belum Stabil
Salah satu hal paling menantang setelah melahirkan di usia matang adalah urusan rambut. Setelah bulan keempat, rontoknya seperti tak berkesudahan. Dulu sempat bikin panik, tapi setelah konsultasi, ternyata itu bagian dari proses normal pasca melahirkan, efek dari perubahan hormon estrogen dan progesteron yang mulai kembali seimbang.
Sekarang, Manda mulai kembali lebih perhatian. Pilih sampo yang lembut, hindari ikatan rambut yang terlalu kencang, dan rajin pakai hair tonic. Bahkan, Manda menikmati momen menyisir rambut pelan-pelan di depan cermin sambil bilang ke diri sendiri, “Nggak apa-apa, pelan-pelan aja tumbuhnya.”
Ada ketenangan di sana. Mungkin karena, pada akhirnya, merawat rambut bukan cuma soal akar dan helai, tapi juga soal menerima proses yang nggak bisa dipercepat.
Tubuh yang Butuh Waktu
Setelah melahirkan di usia 38, metabolisme jelas berubah. Berat badan nggak turun secepat dulu, dan area perut butuh waktu lebih lama untuk kencang. Tapi Manda memilih untuk nggak buru-buru.
Sekarang, Manda lebih fokus pada gerakan ringan, jalan pagi bareng bayi, sedikit stretching, atau yoga pelan saat Nayyara atau Mysha membantu menjaga adiknya. Ada rasa lucu saat sadar bahwa tubuh ini memang tak lagi sama, tapi tetap kuat dengan versinya sendiri.
Manda juga mulai perhatikan pola makan. Bukan diet ketat, tapi lebih ke makan yang bergizi dan berwarna. Fakta tekanan darah tinggi mulai rutin menyapa, mewajibkan lebih mengurangi garam, gluten dan kawanannya. Banyak sayur hijau, protein, dan buah segar. Karena pada akhirnya, kulit sehat juga datang dari dalam, bukan cuma dari botol skincare dan perawatan luar.
Menyadari Bahwa “Tua” Itu Nggak Menakutkan
Salah satu refleksi terbesar selama sembilan bulan pasca melahirkan adalah tentang penerimaan. Ternyata, menjadi “lebih tua” bukan berarti kehilangan kecantikan, tapi belajar menemukan makna baru dari kata itu.
Kerutan di sekitar dahi dan bibir bukan sekadar tanda usia, tapi mungkin juga jadi jejak bahwa kita banyak tersenyum (dan mungkin juga banyak begadang >.<). Kulit yang mulai kendur bukan aib, tapi hasil dari perjuangan luar biasa membawa kehidupan baru ke dunia.
Manda sadar, kita sering terjebak dalam standar yang tak realistis, seperti ingin tampil seperti belum pernah melahirkan, ingin kulit secerah masa kuliah. Padahal, mungkin keindahan justru ada di cara kita memeluk perubahan itu dengan penuh kasih.
Di satu sisi, menerima fakta memang menantang, tapi bukan mustahil, justru membuat hati lebih tenang.
Hati yang Belajar, Diri yang Tumbuh
Perjalanan sembilan bulan setelah melahirkan bukan cuma tentang tubuh yang berubah, tapi juga tentang hati yang belajar. Belajar menerima keterbatasan, belajar mencintai diri yang berbeda, dan belajar bahagia dalam versi yang baru.
Kini, setiap kali Manda bercermin, yang terlihat bukan hanya wajah dengan garis halus, tapi juga perempuan yang lebih bijak. Yang tahu kapan harus berhenti, kapan harus istirahat, dan kapan harus mulai lagi. Walau masih suka ada juga waktu-waktu narsis, mengagumi ciptaan Yang Maha Kuasa di cermin itu :p
Mungkin, inilah hadiah dari usia 38 tahun, kesadaran bahwa perawatan diri bukan lagi soal kecantikan semata, tapi bentuk penghormatan pada tubuh yang telah banyak berjasa. Juga bentuk rasa syukur kepada Sang Maha Cinta yang telah memberi kesempatan kita hadir di dunia hingga hari ini.
Penutup
Sembilan bulan setelah melahirkan di usia 38 tahun mengajarkan banyak hal, bahwa waktu memang tak bisa dibalik atau mundur, tapi kita bisa memilih cara berjalan bersamanya. Bahwa tubuh yang berubah bukan akhir dari cerita, tapi awal dari bab baru tentang cinta yang lebih lembut, dan penerimaan yang lebih tulus.
Jadi, kalau hari ini kamu (atau kita) merasa sedikit lelah melihat cermin, ingatlah satu hal, tubuh ini telah menempuh perjalanan luar biasa. Ia layak dirawat, disyukuri, dan dipeluk apa adanya.

Add your comment